Dengan berlakunya UU No. 31/1999 pada tanggal 16 Agustus 1999 (Lembaran Negara No. 140/1999) timbul pertanyaan tentang bagaimana nasib UU No. 3/1971, yaitu UU pemberantasan tindak Pidana Korupsi lama dan bagaimana tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999. Pertanyaan ini menjadi lebih relevan karena beberapa hari yang lalu Presiden Abdulrahman Wahid menyatakan akan menangkap pelaku KKN pada masa Orde Baru.
Secara sederhana sebenarnya pernyataan tersebut sudah disediakan jawabanya oleh UU No. 31/1999, yaitu dalam pasal 44 yang menyatakan bahwa sejak berlakunya UU No. 31/1999 pada tanggal 16 Agustus 1999, maka UU No.3/1971 dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 tidak lagi dapat dilakukan penyidikan dan penuntutan oleh Jaksa.
Jawaban tersebut ternyata menimbulkan debat hukum lewat media masa maupun pembahasan hangat diberbagai forum diskusi, karena jawaban tersebut benar-benar mengusik rasa keadilan masyarakat, lebih-lebih dalam era reformasi dimana pemberantasan KKN dan supremasi hukum menjadi agendanya.
Dibawah ini akan disajikan pembahasan singkat UU No.31/1999 berkaitan dengan pasal 44.
Fakta Hukum
Ada berbagai ketentuan yang masih berlaku yang dapat kita gunakan sebagai acuan untuk pembahasan , yaitu sebagai berikut:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 1 ayat 1 :Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
Pasal 1 ayat 2 : Jikalau undang-undang dirubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya
Peraturan Peralihan dalam UU No.3/1971
Pasal 36 : Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sebelum saat undang-undang ini berlaku, tetapi dipaksa dan diadili setelah undang-undang ini berlaku maka diperlakukan undang-undang yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan.
Ketentuan Penutup dalam UU No.31/1999
Pasal 44 : Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang No.3/1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 nomor 19, Tambahan Lembaran Negara nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku.
[ Kembali ke atas ]
Pembahasan
Pasal 1 ayat 1 KUHP diatas memuat asas nulum delictum sine preavia lege poenali atau asas legalitas, yang artinya tidak ada tindak pidana jika tidak ada ketentuan pidana dalam bentuk undang-undang terlebih dahulu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana bila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana. Jadi tidak mungkin ada tindak pidana kalau belum ada undang-undang pidana yang mengaturya lebih dahulu.
Dari sudut pandang yang lain, pasal 1 ayat 1 KUHP itu juga memuat asas bahwa ketentuan pidana itu tidak dapat berlaku surut (retroaktif).
Dengan demikian UU No.31/1999 tidak dapat diberlakukan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999.
Dengan adanya pasal 1 ayat 1 KUHP maka UU No.31/ 1999 tidak dapat berlaku surut sedangkan dengan adanya pasal 44 UU No.31/ 1999 maka UU No.3/1971 tidak berlaku lagi. Oleh karena sementara pihak berpendapat bahwa korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999, tidak lagi merupakan tindak pidana dan tidak ada lagi ketentuan undang-undang yang menjadi dasar untuk melakukan proses hukum terhadap perbuatan korupsi tersebut.
Ada pendapat yang berlainan dengan pendapat diatas. Pendapat ini menggunakan doktrin no crime without punishment dan pasal 1 ayat 2 KUHP sebagai dasar argumentasinya. Pendapat ini menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa hukuman dan tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dapat dikenai UU No.3/1971 atau UU No. 31/1999, tergantung dari undang-undang mana yang lebih menguntungkan bagi pelakunya.
Dari sistem pembuktian dan sanksi pidana yang ada, UU No. 3/1971 lebih menguntungkan bagi pelaku tindak pidana korupsi, sehingga terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dapat diberlakukan UU No.3/1971.
Seandainya UU No. 31/1999 lebih menguntungkan bagi pelaku tindak pidana korupsi daripada UU No.3/1971, maka dapat diberlakukan UU No. 31/1999. Dalam hal ini, UU No. 31/1999 dapat berlaku surut (retroaktif ), ini berarti bahwa asas hukum yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu nulum delictum sine Preavia lega poenali dapat disimpangi, khusus bila terjadi perubahan undang-undang pidana sebagai mana UU No. 3/1971 diganti dengan UU No.31/1999.
Meskipun doktrin no crime withount punishment dan pasal 1 ayat 2 KUHP dapat menjadi dasar hukum untuk menindak perbuatan korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999, namun pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut sebenarnya memuat batasan yang tegas.
Batasan tersebut dapat dibaca dari rumusannya ; yaitu hanya bagi tersangka berlaku pasal 1 ayat 2 KUHP. Bagi perbuatan korupsi yang belum dilakukan penyidikan dan pelakunya belum berstatus sebagai tersangka, maka tidak berlaku pasal 1 ayat 2 KUHP.
Dengan demikian tidak semua perbuatan korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dapat diberlakukan UU No.31/1971, kecuali yang memenuhi syarat yang sudah dilakukan penyidikan sehingga pelakunya berstatus sebagai tersangka. Kalau proses hukum terhadap suatu perbuatan korupsi pada tanggal 16 Agustus 1999 baru sampai tahap penyidikan dan belum ada pelakunya yang ditetapkan sebagai tersangka , maka pasal 1 ayat 2 KUHP tidak dapat diterapkan, artinya UU No.3/1971 tidak dapat digunakan lagi.
Tidak ditutup kemungkinan bahwa sebelum tanggal 16 Agustus 1999 telah terjadi proses hukum terhadap perbuatan korupsi yang tahapnya berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
- ada yang baru pada tahap penyelidikan, jadi belum ada tersangka.
- ada yang sudah masuk tahap penyidikan, jadi sudah ada tersangka
- ada yang lebih lanjut, yaitu sudah memasuki tahap penutupan dan sidang pengadilan dimana status tersangka sudah meningkat menjadi terdakwa
Dikaitkan dengan pendapat diatas yang berpegang pada pasal 1 ayat 2 KUHP, maka hanya bagi tersangka dan terdakwa saja dapat diberlakukan UU No. 3/1971, sedang bagi kasus yang dalam tahap penyidikan atau yang sama sekali belum ditangani oleh penegak hukum, tidak lagi dapat diapa-apakan.
Pada tanggal 19 Maret 1971 juga pernah terjadi perubahan/ pergantian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu UU.24 Prp Th. 1960 diganti oleh UU No. 3/1971. Namun penggantian tersebut tidak menimbulkan masalah praktis maupun akademik, karena dalam undang-undang yang baru, yaitu UU No.3/1971 dicantumkan peraturan peralihan pasal 36 (lihat diatas) yang intinya menyatakan bahwa bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum tanggal 29 Maret 1971, berlaku UU No. 24 Prp Th 1960.
Dalam penjelasan pasal 36 tersebut dinyatakan, bahwa adanya pasal ini dimaksudkan untuk mengikuti asas legalitas sebagaiman dianut oleh pasal 1 ayat 1 KUHP, dimana asas legalitas tersebut merupakan unsur yang fundamental dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dengan peraturan peralihan pasal 36 UU No.3/1971 tersebut tertutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat, karena adanya kejelasan bahwa untuk tindak pidana yang terjadi sebelum tanggal 29 Maret 1971, tetapi diperiksa dan diadilli setelah tanggal 29 Maret 1971 berlaku undang-undang korupsi lama
Peraturan peralihan adalah lazim dalam hal terjadi perubahan/pergantian undang-undang, terutama dalam hukum pidana. Hal ini berkaitan dengan perlunya kepastian hukum dan keadilan.
Suatu kenyataan bahwa UU No.31/1999 tidak mencantumkan peraturan peralihan yang lazim, tetapi justru mencantumkan ketentuan penutup yang sangat tegas yang menyatakan sejak berlakunya UU No. 31/1999 (tanggal 16 Agustus 1999) maka UU No.3/1971 dinyatakan tidak berlaku.
Pertanyan yang timbul ialah, mengapa pembuat undang-undang tidak mencantumkan peraturan peralihan dalam UU No.3/1999. ada berbagai pemikiran antara lain:
Pertama :
Pembuat undang-undang berpendapat bahwa peraturan peralihan tidak perlu secara khusus dicantumkan, karena akan berlaku pasal 1 ayat 2 KUHP dengan sendirinya
Kedua :
Pembuatan undang-undang segaja tidak mencantumkan peraturan peralihan dengan maksud agar perbuatan korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 tidak lagi dapat disentuh oleh hukum.
Pendapat kedua ini sangat bernuansa politis, berkaitan dengan upaya pengamanan bagi perbuatan korupsi yang terjadi diera Orde Baru.
Kejaksaan rupanya menganut perkiraan pertama, hal ini dapat dipantau dari pemberitaan dimedia masa yang menyatakan bahwa kejaksaan sedang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap perbuatan korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru yaitu sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dan tentunya mengunakan UU No. 3/1971 sebagai dasar hukumnya.
Apa yang dilakukan kejaksaan tersebut mengandung kelemahan yang substansial, karena penyidikan yang dilakukan tersebut tidak lagi mempunyai dasar hukum baik dilihat dari pasal 1 ayat 2 KUHP maupun pasal 44 UU no. 31 th 1999.
Berdasarkan uraian diatas, kejaksaan hanya bisa melanjutkan penyidikan terhadap tersangka yang sudah dimulai sebelum tanggal 16 Agustus 1999 berdasarkan UU No. 3/1971 dan seterusnya dapat meningkatkan ketahap penuntutan untuk diperikasa di pengadilan.
Belum jelas pendapat pengadilan mengenai hal ini, mengingat perkara-perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan saat ini adalah hasil penyidikan yang dilakukan kejaksaan sebelum tanggal 16 Agustus 1999.
Penutup
Kalau benar perbuatan korupsi yang terjadi sebenarnya tanggal 16 Agustus 1999 tidak dapat lagi dilakukan penyidikan, hal ini pasti akan berdampak luas, mengingat tuntutan reformasi untuk mengadili pelaku pelaku KKN dimasa orde baru hanya menjadi ilusi dan Tap MPR No. XI Th 1998 hanya akan menjadi pajangan hukum belaka.
Jawaban tersebut ternyata menimbulkan debat hukum lewat media masa maupun pembahasan hangat diberbagai forum diskusi, karena jawaban tersebut benar-benar mengusik rasa keadilan masyarakat, lebih-lebih dalam era reformasi dimana pemberantasan KKN dan supremasi hukum menjadi agendanya.
Dibawah ini akan disajikan pembahasan singkat UU No.31/1999 berkaitan dengan pasal 44.
Fakta Hukum
Ada berbagai ketentuan yang masih berlaku yang dapat kita gunakan sebagai acuan untuk pembahasan , yaitu sebagai berikut:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 1 ayat 1 :Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu.
Pasal 1 ayat 2 : Jikalau undang-undang dirubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya
Peraturan Peralihan dalam UU No.3/1971
Pasal 36 : Terhadap segala tindak pidana korupsi yang telah dilakukan sebelum saat undang-undang ini berlaku, tetapi dipaksa dan diadili setelah undang-undang ini berlaku maka diperlakukan undang-undang yang berlaku pada saat tindak pidana dilakukan.
Ketentuan Penutup dalam UU No.31/1999
Pasal 44 : Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang No.3/1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 nomor 19, Tambahan Lembaran Negara nomor 2958) dinyatakan tidak berlaku.
[ Kembali ke atas ]
Pembahasan
Pasal 1 ayat 1 KUHP diatas memuat asas nulum delictum sine preavia lege poenali atau asas legalitas, yang artinya tidak ada tindak pidana jika tidak ada ketentuan pidana dalam bentuk undang-undang terlebih dahulu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai tindak pidana bila terlebih dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa perbuatan itu sebagai tindak pidana. Jadi tidak mungkin ada tindak pidana kalau belum ada undang-undang pidana yang mengaturya lebih dahulu.
Dari sudut pandang yang lain, pasal 1 ayat 1 KUHP itu juga memuat asas bahwa ketentuan pidana itu tidak dapat berlaku surut (retroaktif).
Dengan demikian UU No.31/1999 tidak dapat diberlakukan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999.
Dengan adanya pasal 1 ayat 1 KUHP maka UU No.31/ 1999 tidak dapat berlaku surut sedangkan dengan adanya pasal 44 UU No.31/ 1999 maka UU No.3/1971 tidak berlaku lagi. Oleh karena sementara pihak berpendapat bahwa korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999, tidak lagi merupakan tindak pidana dan tidak ada lagi ketentuan undang-undang yang menjadi dasar untuk melakukan proses hukum terhadap perbuatan korupsi tersebut.
Ada pendapat yang berlainan dengan pendapat diatas. Pendapat ini menggunakan doktrin no crime without punishment dan pasal 1 ayat 2 KUHP sebagai dasar argumentasinya. Pendapat ini menyatakan bahwa tidak ada kejahatan tanpa hukuman dan tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dapat dikenai UU No.3/1971 atau UU No. 31/1999, tergantung dari undang-undang mana yang lebih menguntungkan bagi pelakunya.
Dari sistem pembuktian dan sanksi pidana yang ada, UU No. 3/1971 lebih menguntungkan bagi pelaku tindak pidana korupsi, sehingga terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dapat diberlakukan UU No.3/1971.
Seandainya UU No. 31/1999 lebih menguntungkan bagi pelaku tindak pidana korupsi daripada UU No.3/1971, maka dapat diberlakukan UU No. 31/1999. Dalam hal ini, UU No. 31/1999 dapat berlaku surut (retroaktif ), ini berarti bahwa asas hukum yang terkandung dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yaitu nulum delictum sine Preavia lega poenali dapat disimpangi, khusus bila terjadi perubahan undang-undang pidana sebagai mana UU No. 3/1971 diganti dengan UU No.31/1999.
Meskipun doktrin no crime withount punishment dan pasal 1 ayat 2 KUHP dapat menjadi dasar hukum untuk menindak perbuatan korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999, namun pasal 1 ayat 2 KUHP tersebut sebenarnya memuat batasan yang tegas.
Batasan tersebut dapat dibaca dari rumusannya ; yaitu hanya bagi tersangka berlaku pasal 1 ayat 2 KUHP. Bagi perbuatan korupsi yang belum dilakukan penyidikan dan pelakunya belum berstatus sebagai tersangka, maka tidak berlaku pasal 1 ayat 2 KUHP.
Dengan demikian tidak semua perbuatan korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dapat diberlakukan UU No.31/1971, kecuali yang memenuhi syarat yang sudah dilakukan penyidikan sehingga pelakunya berstatus sebagai tersangka. Kalau proses hukum terhadap suatu perbuatan korupsi pada tanggal 16 Agustus 1999 baru sampai tahap penyidikan dan belum ada pelakunya yang ditetapkan sebagai tersangka , maka pasal 1 ayat 2 KUHP tidak dapat diterapkan, artinya UU No.3/1971 tidak dapat digunakan lagi.
Tidak ditutup kemungkinan bahwa sebelum tanggal 16 Agustus 1999 telah terjadi proses hukum terhadap perbuatan korupsi yang tahapnya berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
- ada yang baru pada tahap penyelidikan, jadi belum ada tersangka.
- ada yang sudah masuk tahap penyidikan, jadi sudah ada tersangka
- ada yang lebih lanjut, yaitu sudah memasuki tahap penutupan dan sidang pengadilan dimana status tersangka sudah meningkat menjadi terdakwa
Dikaitkan dengan pendapat diatas yang berpegang pada pasal 1 ayat 2 KUHP, maka hanya bagi tersangka dan terdakwa saja dapat diberlakukan UU No. 3/1971, sedang bagi kasus yang dalam tahap penyidikan atau yang sama sekali belum ditangani oleh penegak hukum, tidak lagi dapat diapa-apakan.
Pada tanggal 19 Maret 1971 juga pernah terjadi perubahan/ pergantian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu UU.24 Prp Th. 1960 diganti oleh UU No. 3/1971. Namun penggantian tersebut tidak menimbulkan masalah praktis maupun akademik, karena dalam undang-undang yang baru, yaitu UU No.3/1971 dicantumkan peraturan peralihan pasal 36 (lihat diatas) yang intinya menyatakan bahwa bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan sebelum tanggal 29 Maret 1971, berlaku UU No. 24 Prp Th 1960.
Dalam penjelasan pasal 36 tersebut dinyatakan, bahwa adanya pasal ini dimaksudkan untuk mengikuti asas legalitas sebagaiman dianut oleh pasal 1 ayat 1 KUHP, dimana asas legalitas tersebut merupakan unsur yang fundamental dalam negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dengan peraturan peralihan pasal 36 UU No.3/1971 tersebut tertutup kemungkinan adanya perbedaan pendapat, karena adanya kejelasan bahwa untuk tindak pidana yang terjadi sebelum tanggal 29 Maret 1971, tetapi diperiksa dan diadilli setelah tanggal 29 Maret 1971 berlaku undang-undang korupsi lama
Peraturan peralihan adalah lazim dalam hal terjadi perubahan/pergantian undang-undang, terutama dalam hukum pidana. Hal ini berkaitan dengan perlunya kepastian hukum dan keadilan.
Suatu kenyataan bahwa UU No.31/1999 tidak mencantumkan peraturan peralihan yang lazim, tetapi justru mencantumkan ketentuan penutup yang sangat tegas yang menyatakan sejak berlakunya UU No. 31/1999 (tanggal 16 Agustus 1999) maka UU No.3/1971 dinyatakan tidak berlaku.
Pertanyan yang timbul ialah, mengapa pembuat undang-undang tidak mencantumkan peraturan peralihan dalam UU No.3/1999. ada berbagai pemikiran antara lain:
Pertama :
Pembuat undang-undang berpendapat bahwa peraturan peralihan tidak perlu secara khusus dicantumkan, karena akan berlaku pasal 1 ayat 2 KUHP dengan sendirinya
Kedua :
Pembuatan undang-undang segaja tidak mencantumkan peraturan peralihan dengan maksud agar perbuatan korupsi yang terjadi sebelum tanggal 16 Agustus 1999 tidak lagi dapat disentuh oleh hukum.
Pendapat kedua ini sangat bernuansa politis, berkaitan dengan upaya pengamanan bagi perbuatan korupsi yang terjadi diera Orde Baru.
Kejaksaan rupanya menganut perkiraan pertama, hal ini dapat dipantau dari pemberitaan dimedia masa yang menyatakan bahwa kejaksaan sedang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap perbuatan korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru yaitu sebelum tanggal 16 Agustus 1999 dan tentunya mengunakan UU No. 3/1971 sebagai dasar hukumnya.
Apa yang dilakukan kejaksaan tersebut mengandung kelemahan yang substansial, karena penyidikan yang dilakukan tersebut tidak lagi mempunyai dasar hukum baik dilihat dari pasal 1 ayat 2 KUHP maupun pasal 44 UU no. 31 th 1999.
Berdasarkan uraian diatas, kejaksaan hanya bisa melanjutkan penyidikan terhadap tersangka yang sudah dimulai sebelum tanggal 16 Agustus 1999 berdasarkan UU No. 3/1971 dan seterusnya dapat meningkatkan ketahap penuntutan untuk diperikasa di pengadilan.
Belum jelas pendapat pengadilan mengenai hal ini, mengingat perkara-perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan saat ini adalah hasil penyidikan yang dilakukan kejaksaan sebelum tanggal 16 Agustus 1999.
Penutup
Kalau benar perbuatan korupsi yang terjadi sebenarnya tanggal 16 Agustus 1999 tidak dapat lagi dilakukan penyidikan, hal ini pasti akan berdampak luas, mengingat tuntutan reformasi untuk mengadili pelaku pelaku KKN dimasa orde baru hanya menjadi ilusi dan Tap MPR No. XI Th 1998 hanya akan menjadi pajangan hukum belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar